Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku
pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam.
Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama David ML Tobing. David,
lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk
melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia
tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana
terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air
sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung
berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat
pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
David menuding Wings Air telah melakukan perbuatan
melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan
informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya David mengajukan gugatan
terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta
pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab
maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di
Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak
sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012),
perusahaan berlogo kepala singa ini pernah digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha
De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang otomotif ini menuduh Lion Air telah
melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa persetujuannya.
Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik
penumpang tersebut. Lion Air menuding penggugat sebagai penyebab keterlambatan
penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut
penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit sebesar Rp 11,6 juta,
pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji pilot
senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.
Berdasarkan kasus diatas yang menimpa David,
Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan
klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
Sumber Referensi: http://koruahades.wordpress.com/2012/06/24/hak-perlindungan-konsumen/
0 komentar:
Posting Komentar