RSS

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pengertian

Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 :
Ø  Monopoli : merupakan suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Ø  Praktek Monopoli : suatu usaha pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebiha pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Ø  Pelaku Usaha : setiap orang perorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Ø  Persaingan tidak sehat : persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Asas dan Tujuan

Tujuan UU No. 5 Tahun 1999 :
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanay kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil.
  3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektivitas san efisiensi dalam kegiatan usaha.


Kegiatan yang Dilarang

1.  Monopoli, beberapa kriteria monopoli :
  1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa apabila :
1.  barang dan jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
2.  mengakibatkan pelaku usaha laini tidak dapat masuk dalam persaingan dan jasa yang sama.
3.  satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar,   
     jenis barang dan jasa tertentu.


2.  Monopsoni, berdasarkan pasal 18 UU No 5 Tahun 1999, dilarang praktek monopsoni sbb :
  1. Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha pataut diduga dianggap menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3.  Penguasaan Pasar.
            Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun
     bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan  
     usaha tidak sehat berupa :
  1. menolah dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
  2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
  3. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4.  Persekongkolan.
            Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU No 5 Tahun 1999 dalam pasal 22
     sampai dengan pasal 24, yaitu :
  1. dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  2. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
  3. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi, pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.

5.  Posisi Dominan.
            Dalam Pasal 1 angka 4 UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti, dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai sebagai pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar


Benarkah ada kartel daging di Indonesia?

Kelangkaan pasokan daging sapi di DKI Jakarta diduga karena permainan kartel. Indikasi kartel ini berada pada tahap produksi. Demikian Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi di kantornya, Rabu (6/2).

“Sedang kita pelajari. Ada indikasi ke situ (kartel, red),” jelas Nawir kepada wartawan, Rabu (6/2).
Perkiraan ini muncul karena Nawir melihat kesulitan pasokan daging ini hanya terjadi di DKI Jakarta. Sedangkan di daerah luar Jakarta, pasokan daging melimpah.

Distribusi yang tidak merata ini menjadi penyebab melonjaknya harga daging. Parahnya lagi, Nawir melihat sistem alokasi kuota daging, terutama kepada importir tidak transparan.  Tidak ada kejelasan kriteria bagi importir untuk menerima kuota pasokan daging. Alhasil, kartel pun dapat dimainkan.
Rumah Potong Hewan (RPH) tak luput dari pengamatan tim KPPU. Pasalnya, KPPU menduga RPH memiliki potensi kartel dalam pengendalian pasokan. Soalnya, RPH adalah pintu untuk memperlancar dan menghambat stok daging.

Lebih lagi, tim investigasi KPPU juga menemukan sejumlah RPH dimonopoli perusahaan daging. Bentuk monopoli yang dilakukan adalah penggelontoran dana yang dilakukan perusahaan daging ke RPH. Dana diberikan untuk perawatan mesin-mesin dan kebersihan RPH agar bebas dari penyakit pada sapi yang hendak dipotong. Sehingga, pengusaha daging menjual daging lebih mahal.
Meskipun Nawir mencium adanya indikasi kartel di sektor daging sapi ini, Nawir mengatakan tanpa kartel saja, harga daging akan melonjak jika terjadi pengurangan pasokan daging sapi.
“Tanpa kartel saja, pengurangan supply dapat mengangkat harga,” terang Nawir. Swasembada Biang Krisis

Rupanya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Aspidi) Thomas Sembiring tidak sepakat dengan Nawir Messi. Menurutnya, kartel bukan penyebab krisis daging sapi yang melanda DKI Jakarta.

Bantahan ini diperkuat Thomas dengan data harga daging sapi. Menurutnya, krisis daging sapi tidak hanya melanda di DKI Jakarta, tetapi hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Ia pun menyebutkan lima wilayah dengan harga daging sapi tertinggi, seperti Papua harga daging mencapai Rp103 ribu/kg, Samarinda sekitar Rp102 ribu/kg, dan Tanjung Pinang sekitar Rp101 ribu/kg. Sedangkan Banjarmasin dan Malang bergerak di angka Rp100 ribu/kg.

“Kenaikan harga tidak hanya di DKI saja, tetapi menyeluruh. Jadi, bukan disebabkan ada pengaruh permainan pedagang,” urainya di KPPU, Rabu (6/2)
Menolak dikatakan ada indikasi kartel, Thomas justru melihat program swasembada daging menjadi biang kerok krisis daging. Soalnya, dengan program ini, pemerintah telah mengurangi kuota impor. Akibatnya, jumlah daging sapi yang beredar di pasar Indonesia juga berkurang. Sementara itu, jumlah data demand daging mengandung kesalahan. Thomas melihat ada satu komponen yang tidak dihitung, yaitu kaum ekspatriat.

Menurutnya, jumlah ekspatriat yang ada di Indonesia juga mengonsumsi daging sapi. Brasil saja mengonsumsi daging 30kg per kapita. Singapura dan Jepang membutuhkan 7kg per kapita dan Vietnam berkisar 4 kg per kapita. Sedangkan Indonesia, hanya memerlukan 2kg per kapita.
“Ada kelemahan dalam menghitung demand sehingga terjadi kekurangan stok,” tukasnya.
Senada dengan Thomas, Assisten Pengembangan Usaha Bidang Litbang RPH Cakung PD Dharma Jaya, Widhanardi mengatakan krisis daging sapi disebabkan karena swasembada daging. Akibatnya, kelangkaan bahan baku tidak dapat dihindari.

Kelangkaan terjadi karena pasokan daging lokal belum dapat memenuhi seluruh permintaan konsumen. Pasalnya, pasokan sapi dan daging sapi berasal dari peternak rumah tangga. Sehingga, tidak semua sapi siap potong. Usia sapi siap potong milik peternak berbeda-beda.
Kendati demikian, Widhanardi tetap sepakat dengan swasembada asalkan lokal memliki pasokan yang cukup. Untuk itu, pembenahan sistem dan kebijakan menjadi perlu demi mencukupi pasokan sapi.

“Kalau lokal sudah siap, tidak masalah swasembada. Kalau tidak, siap-siap saja kekurangan sapi potong. Kita saja (RPH,red) sudah berkompetisi membeli sapinya,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.



Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5113151395cb2/dugaan-kartel-warnai-kelangkaan-daging-sapi

Bedah Kasus Pelanggaran Perlindungan Konsumen

Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama David ML Tobing. David, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.

Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.

David menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya David mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa ini pernah digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang otomotif ini menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa persetujuannya.

Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air menuding penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.

Berdasarkan kasus diatas yang menimpa David, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.

Sumber Referensi: http://koruahades.wordpress.com/2012/06/24/hak-perlindungan-konsumen/

HAKI (HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL)

A. Pengertian HAKI

Hak adalah benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu ( karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang menurut hukum.

Kekayaan adalah perihal yang ( bersifat, ciri ) kaya, harta yang menjadi milik orang, kekuasaan.

Intelektual adalah cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan, atau totalitas pengertian atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hak Atas Kekayaan Intelektual ( HAKI ) adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebaginya, yang tidak mempunyai bentuk tertentu.

B. Prinsip-prinsip hak kekayaan intelektual

a.       Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya bedasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya.
b.      Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan prinsip ini HAKI memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada HAKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptanya.
c.       Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat berguna bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu, HAKI juga akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
d.      Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan prinsip ini, sistem HAKI memberikan perlindungan kepada pensipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam undang-undang hak cipta Indonesia.

C. Klasifikasi dan Kekayaan Intelektual

Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu:
1.    Hak Cipta.
2.    Hak Kekayaan Industri, meliputi:
a.       Paten
b.      Merek
c.       Desain Industri
d.      Rahasia Dagang


D. DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
  • UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
  • UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
  • UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
  • UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

SUMBER:

SURAT PERJANJIAN SEWA RUMAH VILLA

Pada hari ini, Rabu Oktober 2012, telah diadakan perjanjian sewa menyewa antara kedua belah pihak sebagai berikut:
Nama : Sumirdjo
Alamat : Jl. Bukit Cengkeh No. 214, Kelapa Dua Depok
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
No.KTP : 002718947
Kemudian dalam perjanjian ini dapat disebut Pihak Pertama.
Nama : Budiarto
Alamat : Jl. Teratai Raya No. 99, Cibinong Bogor
Pekerjaan : Wiraswasta
No.KTP : 714209721
Kemudian dalam perjanjian ini dapat disebut Pihak Kedua.
Atas sebuah obyek villa yang terletak di Jl. Raya Gadog No. 339, Cisarua Bogor yang selanjutnya disebut sebagai obyek perjanjian dengan kondisi sebagai berikut :
• Pihak pertama menyewakan obyek rumah villa kepada pihak kedua untuk kepentingan pribadi terhitung sejak tanggal Rabu 3 Oktober 2012
• Pihak pertama akan menerima uang sewa sebesar Rp. 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah) yang dibayarkan di muka untuk jaminan oleh pihak kedua.
• Selanjutnya, pihak kedua akan menempati sementara obyek tersebut selama 2 (dua) tahun.
• Pihak kedua akan membayar iuran lingkungan dan mematuhi peraturan lingkungan sesuai dengan ketetapan yang berlaku di lingkungan.
• Pihak kedua tidak diperkenankan merubah bentuk rumah villa tanpa ijin tertulis dari pihak pertama.
• Pihak kedua tidak diperkenankan untuk menjadikan obyek sewa sebagai tempat usaha, perkumpulan organisasi ataupun menjadikan obyek sewa sebagai sarana peribadatan.
• Pihak kedua akan membayar tagihan listrik dari PLN dan akan membayar seluruh tagihan lain akibat penggunaan fasilitas yang ada, seperti tapi tidak terbatas pada, iuran tv kabel, telepon.
• Pihak kedua tidak berhak menyerahkan hak untuk menempati obyek sewa kepada pihak lain kecuali atas persetujuan pihak pertama.
Demikian surat perjanjian ini dibuat, agar dapat dipatuhi dan digunakan sebagaimana mestinya.
Contoh Surat Perjanjian Sewa Rumah 4

SURAT PERJANJIAN

Dalam dunia bisnis, ketertarikan masing-masing pihak kadang-kadang memerlukan suatu jaminan atau kepastian. Hal tersebut dimaksudkan agar bagi kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Dan pada umumnya untuk menjamin hal tersebut, kedua belah pihak saling mengadakan perjanjian.

Perjanjian adalah tindakan yang mengikat dua belah pihak yang berjanji untuk menjamin adanya kepastian. Perjanjian tersebut bisa dibuat melalui lisan maupun tulisan. Kekuatan perjanjian lisan sangatlah lemah, sehingga bila terjadi sengketa diantara pihak-pihak yang berjanji, maka akan lebih sulit dibuktikan kebenarannya. Untuk hal-hal yang sangat penting, orang lebih suka menggunakan surat perjanjian sebagai bukti hitam diatas putih demi keamanan.

Surat perjanjian adalah surat kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Definisi itu menunjukkan ciri khas surat perjanjian sebagai surat yang dibuat oleh dua pihak secara bersama, bahkan seringkali melibatkan pihak ketiga sebagai penguat.

Aneka Surat Perjanjian

  1. Perjanjian Jual Beli
Dalam surat ini disebutkan bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan suatu barang kepada pihak pembeli. Sebaliknya, pihak pembeli diwajibkan menyerahkan sejumlah uang (sebesar harga barang tersebut) kepada pihak penjual sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah penandatanganan surat tersebut, kedua belah pihak terikat untuk menyelesaikan kewajiban masing masing. Setiap pelanggaran atau kelainan dalam memenuhi kewajiban akan mendatangkan konsekuensi hokum karena pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan atau klaim.
  1. Perjanjian Sewa Beli ( angsuran)
Surat ini boleh dinyatakan sama dengan surat jual beli. Bedanya harga barang yang di bayarkan oleh pihak pembeli dilakukan dengan cara mengangsur. Barangnya diserahkan kepada pihak pembeli setelah surat perjanjian sewa beli ditandatangani. Namun hak kepemilikan atas barang tersebut masih berada di tangan pihak penjual. Jadi sebelum pembayaran atas barang tersebut masih di angsur, pihak pembeli masih berstatus sebagai penyewa. Dan selama itu pihak pembeli tidak berhak menjual barang yang disebutkan dalam perjanjian sewa beli tersebut. Selanjutnya hak milik segera jatuh ke tangan pembeli saat pembayaran angsuran/cicilan terakhir dilunasi.
  1. Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian ini merupakan suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa., dimana pihak yang menyewa (pihak 1) berjanji menyerahkan suatu barang (tanah, bangunan, dll) kepada pihak penyewa (pihak II) selama jangka waktu yang di tentukan kedua belah pihak. Sementara itu pihak penyewa di wajibkan membayar sejumlah uang tertentu atas pemakaian barang tersebut.
  1. Perjanjian Borongan
Perjanjian ini dibuat antara pihak pemilik proyek dan pihak pemborong, dimana pihak pemborong setuju untuk melaksanakan pekerjaan borongan sesuai dengan syarat syarat/spesifikasi serta waktu yang di tetapkan/disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk itu pihak pemilik proyek wajib memebayar sejumlah uang tertentu (harga pekerjaan borongan) yang telah di sepakati kedua belah pihak kepada pihak pemborong
  1. Perjanjian Meminjam Uang
Surat perjanjian ini merupakan persetujuan antara pihak piutang dengan pihak berhutang untuk menyerahkan sejumlah uang. Pihak yang berpiutang meminjamkan sejumlah uang kepada pihak yang meminjam, dan pihak peminjam wajib membayar kembali hutang tersebut ditambah dengan buang yang biasanya dinyatakan dalam persen dari pokok pinjaman, dalam jangka waktu yang telah disepakati.
  1. Perjanjian Kerja
Pada dasarnya surat perjanjian kerja dan perjanjian jual beli adalah sama. Yang membedakan adalah obyek perjanjiannya. Bila dalam surat perjanjian jual beli objeknya adalah barang atau benda, maka objek dalam surta perjanjian kerja adalah jasa kerja dan pelayanan Para pihak dalam surat perjanjian kerja adalah majikan (pemilik usaha) dan pekerja (penyedia jasa).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat surat perjanjian kerja adalah :
  1. a) Lama masa kerja
  2. b) Jenis pekerjaan
  3. c) Besarnya upah atau gaji beserta tunjangan. Pihak majikan biasanya telah mempunyai suatu pegangan atau standar gaji untuk menentukan gaji yang layak untuk suatu tingkat keahlian kerja.
  4. d) Jam kerja per hari, jaminan sosial, hak cuti, dan kemungkinan untuk memperpanjang perjanjian tersebut.

Sumber:

https://sitiayurosida.wordpress.com/2015/06/07/pengertian-dan-contoh-surat-perjanjian/

SUBJEK DAN OBJEK HUKUM

A. SUBJEK HUKUM

Subjek hukum ialah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Pada dasarnya subjek hukum dapat dibedakan atas:

a. Manusia
Manusia merupakan subyek hukum karena sejak ia dilahirkan (bahkan dalam kandungan) ia sudah merupakan pendukung hak dan kewajiban. Keadaan ini berakhir pada saat manusia meninggal dunia.
b. Badan Hukum
Selain manusia, badan hukum juga merupakan pendukung hak dan kewajiban. Badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum layaknya manusia.

Subjek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun prang asing adalah subjek hukum.
Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek hukum sejak is dilahirkan sampai meninggal dunia.
Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak¬ha knya, a kan teta pi dalam hukum, tidak sem ua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurangcakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan¬perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:

a)    Orang yang belum dewasa.
b)    Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang boros.
c)     Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin)

Selain manusia sebagai subjek hukum, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim.

 Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)    Badan hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
b)    Badan hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.

B. OBJEK HUKUM

Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga penguasaannya diatur oleh kaidah hukum.

Adapun penjelasan Jenis objek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni :

1.    Benda Bergerak adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud.

2.    Benda Tidak Bergerak adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik/lagu.


SUMBER:
http://kantongilmuhukum.blogspot.co.id/2015/05/subyek-hukum-dan-obyek-hukum.html
http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2014/04/subjek-objek-hukum-perdata.html